Banyak
dari kita meyakini bahwa sumberdaya ikan yang telah dihamparkan oleh Tuhan YME
di bumi Indonesia sangatlah melimpah dan bila dikelolah secara arif dan
bijaksana, sumberdaya ikan tersebut pantas dijadikan sandaran hidup nelayan
Indonesia saat ini. Dan mungkinkah sumberdaya tersebut masih bisa juga menjadi
sandaran hidup dan dinikmati oleh generasi yang akan datang? Ataukah cerita
melimpahnya ikan di bumi pertiwi hanya dapat diketahui dari buku sejarah masa
lalu. Wallahu Alam
Meski tidak ada catatan mengenai potensi
sumberdaya ikan yang terkandung di perairan indonesia, tahun 1940-an
diperkirakan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sangat melimpah. Bahkan
seniman negeri mengabadikannya dalam sebuah bait lagu “Bukan lautan hanya kolam
susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan
dan udang menghampiri dirimu” kutipan lagu tersebut cukup memberi gambaran
kepada kita betapa bangsa ini memiliki kekayaan sumberdaya ikan yang sangat
melimpah.
Afdeeling Visserij (bagian perikanan) yang dibentuk oleh pemerinta Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1914 menegaskan bahwa secara umum atau sekitar 95 % kegiatan penangkapan ikan saat itu hanya ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga. Selain karena kegiatan industri perdagangan perikanan belum berjalan, kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi dan armada penangkapan masih sangat kurang. Nelayan umumnya menggunakan sampan untuk menangkap ikan, sehingga wilayah penangkapan hanya terbatas pada daerah sekitar pantai.
Afdeeling Visserij (bagian perikanan) yang dibentuk oleh pemerinta Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1914 menegaskan bahwa secara umum atau sekitar 95 % kegiatan penangkapan ikan saat itu hanya ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga. Selain karena kegiatan industri perdagangan perikanan belum berjalan, kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi dan armada penangkapan masih sangat kurang. Nelayan umumnya menggunakan sampan untuk menangkap ikan, sehingga wilayah penangkapan hanya terbatas pada daerah sekitar pantai.
Pemanfaatan secara terbatas ternyata
tidak berlaku diseluruh perairan Indonesia, tahun 1930 hingga 1970, Bagan
Siapi-api, sebuah sentra penangkapan ikan di selat malaka, dikenal sebagai
suatu kawasan perikanan terbesar di asia bahkan dunia. Data statistik perikanan
yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 mencatat bahwa produksi
ikan di pelabuhan Bagan Siapi-api mencapai rata-rata 300.000 ton/tahun.
Produksi itu telah menempatkan pelabuhan ini sebagai daerah penghasil ikan
terbesar di asia bahkan kedua di dunia setelah Norwegia.
Dan sejarah mencatat pula bahwa awal
tahun 70an, produksi ikan di Bagan Siapi-api berangsur-angsur turun dan tidak
pernah bangkit lagi seperti sebelumnya. Kesibukan di pelabuhan bagan siapi-api
tidak lagi terlihat, aktivitas perdagangan ikan hilang bak di telan bumi dan
aroma “sedap” ikan yang menyebar di seluruh bagan tak lagi tercium. Mengapa hal
ini bisa terjadi?
Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya ikan, orientasi
penangkapan ikan tidak lagi berbasis skala rumah tangga tapi mulai berkembang
menjadi skala industri. Di wilayah perairan Indonesia, khususnya bagian barat
Indonesia, sekitar tahun 1950, aktivitas penangkapan ikan mulai dilakukan
dengan menggunakan alat tangkap payang penangkapan ikan pelagis, kemudian
jaring trawl untuk menangkap udang dan ikan demersal serta longline untuk ikan
pelagis besar seperti tuna tahun 1956. Pada akhir tahun 60an hingga awal tahun
70an, kegiatan penangkapan ikan mengalami peningkatan yang signifikan yang ditandai
dengan semakin meningkatnya upaya penangkapan ikan, baik oleh pengusaha lokal
maupun kerjasama dengan pihak asing.
Pendugaan Stok Sumberdaya Ikan Sadar
bahwa angka potensi sangat diperlukan dan bermanfaat pada perikanan yang belum
dan akan berkembang, pemerintah melalukan pendugaan angka produksi sumberdaya
ikan di seluruh perairan Indonesia. Hasil pengkajian tersebut menemukan bahwa
potensi sumberdaya ikan perairan Indonesia sekitar 3.600.000 ton/tahun. Setelah
dilakukan analisis lebih lanjut, potensi sumberdaya ikan Indonesia mencapai 4.5
juta ton/tahun. Setelah Indonesia memiliki hak pengelolaan terhadap Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (1980), potensi sumberdaya ikan bertambah sebesar
2.100.000 ton/tahun sehingga potensi sumberdaya ikan lautan Indonesia menjadi
6.6 juta ton/tahun.
Tahun 1990, berdasarkan kajian
direktorat perikanan, potensi sumberdaya ikan kelompok demersal diduga
mempunyai potensi sebesar 233.800 ton/tahun, namun pada tahun 2001, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) menduga potensi demersal turun menjadi 82.400 ton/tahun. Hasil kajian
tersebut juga menerangkan bahwa sumberdaya ikan di Laut Jawa dan Selat Malaka
telah mengalami gejala overfishing untuk seluruh kelompok jenis sumberdaya
ikan. Gejala overfishing juga terjadi pada beberapa kelompok jenis ikan
beberapa wilayah pengelolaan perikanan, seperti sumberdaya udang di Laut Cina
Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Teluk Tomini dan Laut Seram, Laut
Arafura dan Samudera Hindia, demikian juga sumberdaya ikan demersal di Samudera
Hindia, Laut Arafura dan Laut Banda.
Tahun 2000, FAO mempublikasikan
lapoaran tentang kondisi sumberdaya perairan dunia termasuk Indonesia, laporan
tersebut menyebutkan bahwa perairan Indonesia yang dikelompokkan dalam perairan
Pasifik Barat Tengah dan Samudera Hindia Timur telah mencapai tingkat
pemanfaatan penuh. Gambaran pemanfaatan sumberdaya ikan di seluruh perairan
Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberaya Ikan
menunjukkan hal yang sama, bahkan beberapa kelompok jenis sumberdaya ikan di
beberapa WPP juga mengalami gejala overfishing.
Artinya, berdasarkan hasil kajian
yang ada, sumberdaya ikan yang dianugerahkan oleh Tuhan YME di bumi pertiwi
yang dulunya melimpah ruah kini perlahan namun pasti mulai berkurang. Apa yang
sebenarnya terjadi. Mungkinkah telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di perairan Indonesia? Meski kita tidak bisa menjawab secara
pasti, namun satu hal yang pasti bahwa penataan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan perlu terus dilakukan agar mampu memberikan kesejahteraan
kepada sebagian besar nelayan.
Tidak sedikit orang yang meragukan
keakuratan data yang kita miliki serta hasil penelitian yang telah dilakukan,
namun suka tidak suka, kenyataan dilapangan bahwa ikan semakin sulit
tertangkap, ukurannya relative lebih kecil serta nelayan semakin sulit
menangkap ikan jenis tertentu yang mempunyai nilai ekonomis penting.
Informasi dan data tersebut memberi
pesan kuat kepada kita dan stakeholders perikanan bahwa perlahan namun pasti,
sumberdaya ikan kita semakin kritis. Informasi ini merupakan sinyal kuat bahwa
dimasa mendatang, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan tidak boleh lagi
dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan pengelolaan harus lebih
dirancang secara cermat dan hati-hati sehingga tidak menimbulkan dampak
negative terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan.
The Last Fishing GroundLaut Arafura
yang merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dengan
sumberdaya ikan utama ikan demersal dan udang udang. Saat ini, perairan
tersebut merupakan salah satu daerah utama penangkapan ikan demersal dan udang
di Indonesia, dimana dalam 3 (tiga) dekade terakhir perkembangan upaya
pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura semakin meningkat yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah perusahaan dan armada perikanan yang beroperasi di
perairan Arafura. Sementara, sejumlah perusahaan baru juga telah merencanakan
untuk melaksanakan usaha penangkapan di perairan tersebut.
Sejalan dengan upaya pengembangan
perekonomian, khususnya dalam pemerataan pembangunan, pengembangan kawasan
Indonesia Bagian Timur merupakan skala prioritas. Penbangunan sektor perikanan
tangkap yang merupakan salah satu sub sektor unggulan dari sektor kelautan dan
perikanan saat ini tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam
mensejahterakan nelayan serta berdampak positif bagi kemajuan daerah.
Daerah-daerah yang terkait langsung dengan laut Arafura tentunya melihat
sumberdaya perikanan laut Arafura sebagai potensi besar yang bisa memberikan
nilai dan manfaat bagi pembagunan dan kemajuan perekonomian daerah. Salah satu
strategi yang mungkin dilakukan adalah menambah upaya melalui penambahan jumlah
armada penangkapan ikan. Semua pihak berharap sumberdaya ikan di Laut Arafura
menjadi harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan termasuk mampu
mensejahterakan nelayan lokal.
Namun perlu diingat bahwa kondisi
sumberdaya ikan khususnya ikan demersal dan udang di Laut Arafura tidak jauh
lebih baik dibanding dengan kondisi sumberdaya ikan di beberapa WPP yang lain.
Berdasarkan hasil kajian stok ikan tahun 2002 oleh Pusat Riset Perikanan
Tangkap (BRKP), untuk sumberdaya udang, ikan demersal telah menunjukkan fase
eksploitasi secara penuh, bahkan telah dieksploitasi secara berlebihan.
Penurunan stok udang di WPP Arafura tersebut antara lain ditengarai oleh (1)
penurunan laju tangkap (CPUE), (2) dominasi species hasil tangkapan oleh
rajungan yang mencapai 80 % dari total hasil tangkapan udang dan krustacea
lainnya, (3) dominasi udang jerbung diganti oleh udang dogol, dan (4) penurunan
rata-rata ukuran udang dari 10-30 per kg menjadi 36-60 ekor per kg.
Pada akhir tahun 90an hingga awal
tahun 2000an, udang berukuran kecil cenderung mendominasi hasil tangkapan.
Akibatnya, proporsi berat udang berukuran besar yang diekspor semakin sedikit,
di lain pihak proporsi berat udang berukuran kecil semakin banyak. Sebelumnya,
pada tahun 1993, Iskandar et.al melakukan penelitian di perairan laut Arafura
juga menunjukkan fenomena yang sama, dimana prosentase produksi udang ukuran
besar yang berasal dari Laut Arafura sejak tahun 1985 sampai 1990 cenderung
menurun. Sebaliknya udang yang berukuran kecil cenderung meningkat.
Selanjutnya, hasil penelitian Sumiono et.al (1998) di perairan Kaimana
menyimpulkan bahwa udang berukuran kecil lebih bayak daripada udang berukuran
besar.
Bagan Siapi-api, Laut Jawa, Selat
Malaka tidak lagi mengeluarkan “aroma” ikan semerbak dulu, dan membutuhkan
waktu dan biaya besar untuk pulih, akankah kita membiarkan sumberdaya perikanan
laut arafura yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan ikan
demersal tidak lagi mempesona seperti dulu.
Semua pihak perlu menyadari bahwa
pembangunan sektor perikanan tidak selalu berarti penambahan jumlah armada
penangkapan ikan, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemanfaatan sumberdaya
perikanan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan tetap
memperhatikan daya dukung sumberdaya ikan. Oleh karenanya, pemanfaatan
sumberdaya ikan yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai lumbung udang dan
ikan demersal perlu dilakukan secara lebih hati-hati agar potensi sumbedaya
ikan tersebut tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga oleh
generasi yang akan datang.
Kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengembalikan kondisi perairan laut arafura, bukan hanya sebagai lumbung perikanan ikan demersal dan udang tapi juga menjadi pertahanan terakhir sumberdaya perikanan yang mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Patut diingat kembali bahwa sumberdaya ikan bukanlah milik kita, tapi hanya titipan anak cucu kita untuk kita manfaatkan sekaligus berkewajiban menjaga kelestariannya.
Kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengembalikan kondisi perairan laut arafura, bukan hanya sebagai lumbung perikanan ikan demersal dan udang tapi juga menjadi pertahanan terakhir sumberdaya perikanan yang mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Patut diingat kembali bahwa sumberdaya ikan bukanlah milik kita, tapi hanya titipan anak cucu kita untuk kita manfaatkan sekaligus berkewajiban menjaga kelestariannya.
Salam...
Post a Comment
Berkomentarlah dengan rapih.